PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA DALAM KURIKULUM MULTIKULTURAL
PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA DALAM KURIKULUM MULTIKULTURAL
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ,
الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالمِيْنَ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ
الدُّنْيَا وَ الدِّيْنِ, وَالصَّلاَ ةُ وَ السَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ
الأَنْبِيَاءِ وَ المُرْسَلِيْنُ سَيِّدِنَا
وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنُ, أَمَّا بَعْدُ.
Perkembangan pembangunan nasional dalam era pengembangan Ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonesia telah memunculkan efek samping yang tidak dapat
terhindarkan dalam masyarakat. Status sosial dalam kenyataannya telah
menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan
antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja,
kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi
masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis
memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan
sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat
Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status
sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika
dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar
budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya
telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat
memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang
sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru
dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki
kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar
pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada
lingkungan masyarakatnya. Oleh karena
itu penulis ingin mengurai gagasan mengenai “Pembelajaran
Berbasis Budaya Menuju Kurikulum Multikultural”.
Perspektif
Tentang Pendidikan Multikultural\
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000)
dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak
kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan
kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan
peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas
lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan
tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa
orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya
yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat
fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada
setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai
usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan
sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti
perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan
mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan
praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah
menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para
praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan
transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua
tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis
kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang
sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk
sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan
ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting
bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan
sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi
keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama
mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan
menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun
pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam
membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya
ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan
jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan
berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan
keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian
membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti
apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa
membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi
konflik.
Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma
pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas,
soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan
kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi
lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik
untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan
implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa
mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan
nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di
sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi
muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara
sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai
harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma
multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan
multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan
empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi,
penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau
setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable)
seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi),
perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan
uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah
konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes
politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana
pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar
sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang
tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan
multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika
dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di
lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di
antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide
persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan
awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten
dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan
oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan
kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap
sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang
berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan
aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari
pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural
menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul
kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia
Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural,
memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan
menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Ide pendidikan
multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi
UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat
empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk
mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis
kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk
berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan
hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam
diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun
secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan
memelihara.
Konsep pendidikan
multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS,
khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya
seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup
ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya,
penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam
masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia,
perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh
momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan
badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa
kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme.
Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur
untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik,
pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk
menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda
ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari
konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar
memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya,
paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada
prinsip-prinsip berikut ini:
Pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan
pandangan dan perspektif banyak orang.
·Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal
terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai
sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan
yang berbeda-beda.
· Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan
multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan
perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan
budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang
menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur
sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak
adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus
menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian,
musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak
dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar
merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Gagasan
Penulis
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan
multikulturalisme dapat membantu siswa mengerti, menerima, menghargai orang
lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman
semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran
bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan
di antara sesame dan mau hidup bersama secara damai.
Ide pendidikan multicultural akhirnya menjadi komitmen global sebagai
direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama,
pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima
nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat, dan
budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi, dan berbagi, bekerja samadengan
orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi
gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas
antarpribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan
kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan.
Oleh karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan
kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga mereka mampu membangun
secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan
memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multicultural sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya
melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, ataupun dalam keluarga. Dalam
pendidikan formal, pendidikan multicultural ini dapat diintegrasikan melalui
kurikulum mulai pendidikan anak usia dini, SD, SMP, SMA sampai perguruan
tinggi.
Untuk mewujudkan gagasan ini harus didasarkan pada konsep ketakwaan dan
iman, keberadaban, kesopanan, toleransi, kemandirian, bebas dari paksaan,
kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik
pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keberagaman etnis dan
perbedaan, persamaan hak, toleransi dan sikap terbuk. Mengembangkan kompetensi
untuk mampu mandiri dan mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak
lain, bebas dari ancaman dan paksaan.SEMOGA BERMANFAAT.
Daftar Pustaka
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation:
Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research
in Education.
——, (1994), An Introduction to Multicultural Education,
Needham Heights, MA
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Komentar
Posting Komentar